Dapur Ibu, Wajan Tua, dan Cerita yang Tak Pernah Usai
CampurKita - Ada satu sudut di rumah yang sering jadi latar banyak kenangan, tapi jarang kita sadari: dapur.
Bukan ruang tamu, bukan kamar tidur, tapi tempat di mana suara wajan, aroma bawang tumis, dan uap nasi hangat bercampur jadi satu.
Di dapur itulah, seorang ibu berdiri sejak pagi, sering kali sebelum semua orang bangun. Di depannya ada wajan tua—warnanya sudah tak lagi mengkilap, gagangnya sedikit menghitam, tapi tetap setia menemani setiap masakan yang keluar dari dapur.
Wajan yang Selalu Ada di Setiap Musim Hidup
Wajan itu mungkin bukan yang paling mahal, bukan juga yang paling baru. Tapi kalau dia bisa bicara, mungkin ceritanya panjang:
-
dulu dipakai menggoreng tempe pertama kali ketika uang belanja pas-pasan,
-
pernah juga untuk memasak mie goreng tengah malam untuk anak yang begadang mengerjakan tugas,
-
jadi saksi tumisan bawang di pagi hari saat keluarga terburu-buru bersiap.
Di dapur ibu, wajan tua bukan sekadar alat.
Ia seperti teman seperjalanan.
Setiap goresan, setiap noda yang sulit hilang, adalah jejak hari-hari yang tak akan kembali:
-
hari ketika masakan pertama kali gosong,
-
hari ketika eksperimen resep baru berhasil dan semua anggota keluarga memuji,
-
hari ketika memasak sambil menahan tangis, tapi tetap berusaha tersenyum ketika masakan dihidangkan.
Dapur: Tempat Cerita Menguap Bersama Uap Masakan
Sesederhana apa pun dapurnya, di sana selalu ada:
-
obrolan sambil mengiris bawang,
-
tawa kecil ketika minyak mendadak muncrat,
-
momen diam ketika ibu memasak dengan fokus penuh, seakan sedang berdoa.
Kadang, dapur jadi tempat curhat paling jujur:
-
anak bercerita soal hari di sekolah sambil bantu mengulek sambal,
-
seorang kakak bercerita tentang dunia kerja sambil menunggu air mendidih,
-
seorang ayah diam-diam masuk dapur, mencicipi sedikit lauk, lalu memuji pelan, “Enak, Bu.”
Di antara panci dan piring, hubungan terbangun tanpa perlu kata yang berlebihan.
Wajan Tua dan Resep Tanpa Takaran
Kalau kamu perhatikan, banyak ibu yang memasak tanpa resep tertulis.
Tidak ada “1 sdt ini” atau “100 gram itu” yang tercatat rapi. Semua hanya:
-
“sejumput garam”,
-
“secukupnya”,
-
“kira-kira”,
-
dan sisanya: perasaan.
Wajan tua menjadi ruang eksperimen yang tidak pernah berhenti:
hari ini tumis kangkung, besok ikan goreng, lusa tumisan bumbu kuning, minggu depan mungkin nasi goreng spesial sisa lauk kemarin.
Namun entah bagaimana, rasanya selalu punya ciri khas: rasa rumah.
Dan lucunya, ketika kita mencoba menirukan, sering kali rasanya “mirip tapi tidak sama”.
Mungkin karena ada sesuatu yang tidak bisa dibeli:
ketulusan dan kesabaran yang ikut larut ke dalam masakan.
Saat Dapur Sepi dan Wajan Mulai Jarang Berbunyi
Waktu terus berjalan.
Anak-anak tumbuh, satu per satu merantau. Rumah yang dulu ramai, pelan-pelan jadi lebih tenang. Dapur yang dulu sibuk setiap pagi dan sore, sekarang hanya ramai di hari-hari tertentu: lebaran, akhir pekan, atau saat semua pulang.
Wajan tua yang dulu hampir tidak pernah istirahat, kini mulai sering menggantung di dinding.
Tapi setiap kali ada yang pulang, dapur itu hidup lagi:
-
minyak kembali panas,
-
bawang kembali ditumis,
-
suara sendok beradu piring kembali terdengar.
Dan di tengah semua itu, ibu kembali tersenyum dengan cara yang hanya bisa muncul ketika ia memasakkan sesuatu untuk orang-orang yang ia sayang.
Dapur Ibu: Tempat Rasa dan Rindu Bertemu
Kelak, ketika kita punya dapur sendiri, kita mungkin membeli wajan baru, kompor baru, panci baru. Semuanya serba lebih modern, lebih rapi, lebih kinclong.
Tapi diam-diam, di dalam diri, kita membawa satu “wajan tua” versi lain:
kenangan tentang dapur ibu.
Tentang:
-
bagaimana ia meniup sendok panas sebelum menyuapkan ke kita,
-
bagaimana ia selalu memastikan porsi kita cukup, bahkan kadang terlalu banyak,
-
bagaimana ia sering makan belakangan, setelah semua selesai.
Di setiap bumbu yang kita tumis, ada sedikit gaya tangan ibu yang tak sengaja kita tiru.
Penutup: Kalau Suatu Hari Kamu Pulang…
Kalau suatu hari kamu pulang dan masuk ke dapur lama di rumah:
-
lihatlah wajan tua yang mungkin masih tergantung,
-
lihat bekas gosong yang tak bisa hilang,
-
lihat gagang yang sudah aus.
Cobalah pegang sebentar.
Bayangkan berapa banyak masakan yang sudah ia bantu lahirkan. Berapa banyak cerita yang ia saksikan tanpa suara.
Lalu tanya pada dirimu sendiri:
masakan apa dari dapur ibu yang paling kamu rindukan sekarang?
Nasi goreng tengah malam? Sayur bening sederhana? Atau sambal terasi yang selalu lebih enak dari buatanmu sendiri?
Dan, kalau suatu hari kamu punya wajan “tua” versimu sendiri,
kira-kira cerita seperti apa yang ingin kamu biarkan ia saksikan?