Dapur Kakek, Aroma Arang, dan Sepotong Kenangan
CampurKita - Dapur kakek bukan dapur modern. Tak ada kompor gas, tak ada oven listrik.
Yang ada hanyalah tungku tanah liat, arang yang menyala perlahan, dan suara kayu terbakar yang menimbulkan bunyi “kretek-kretek” menenangkan.
Di sanalah aku belajar bahwa masakan bukan hanya soal rasa, tapi soal waktu dan kesabaran.
“Kakek selalu bilang, api pelan membuat rasa jadi matang, bukan terbakar.”
🌾 Aroma yang Tak Pernah Hilang
Sampai hari ini, setiap kali mencium aroma arang terbakar, aku langsung teringat pada masa kecil:
kakek duduk di kursi bambu, kipas kecil di tangan, dan panci tanah liat di atas tungku.
Nasi dimasak perlahan, ikan bakar beraroma asap tipis, sambal diulek di cobek batu yang retak di ujungnya.
Tak ada resep tertulis — hanya intuisi dan pengalaman yang diwariskan dari rasa.
🍚 Rahasia Rasa Arang
Bagi kakek, arang bukan sekadar bahan bakar.
Ia adalah penanda waktu.
Masakan di atas api arang tidak bisa terburu-buru;
kamu harus sabar, menunggu panas meresap ke daging, membiarkan aroma asap menempel di bumbu.
Dan hasilnya? Rasa yang dalam, hangat, dan sulit ditiru di dapur modern.
🌾 Lebih dari Sekadar Masakan
Setiap pagi di dapur itu, aku tidak hanya belajar memasak, tapi juga belajar hidup.
Tentang arti kesabaran, tentang mencintai proses, dan tentang bagaimana api kecil bisa menjaga kehangatan keluarga.
Kakek tidak banyak bicara, tapi setiap hidangannya seperti pesan yang lembut:
“Rasa yang baik lahir dari hati yang tenang.”
🎉 Penutup
Kini, dapur itu sudah sunyi.
Tungkunya tak lagi dipakai, tapi setiap kali aku memasak, aku tahu: sebagian dari bara itu masih hidup di hatiku.
Karena kenangan, seperti arang, bisa padam perlahan — tapi aromanya tinggal selamanya.
💬 Pertanyaan Campur:
Apa kenangan dapur masa kecilmu yang masih bisa kamu cium sampai sekarang? Ceritain di kolom komentar, biar bara kenangan kita makin hangat.