Filosofi di Balik Bubur Suro
CampurKita - Setiap awal bulan Suro — bulan pertama dalam penanggalan Jawa — banyak rumah di pedesaan menebarkan aroma khas bubur yang gurih dan harum.
Itulah Bubur Suro, bukan sekadar makanan, tapi ritual budaya yang sarat makna.
Dari tekstur lembutnya hingga warna kuning kunyitnya, setiap sendok bubur ini menyimpan filosofi panjang tentang doa, keseimbangan, dan rasa syukur.
Sejarah dan Asal Usul
Bubur Suro dipercaya berasal dari perpaduan antara tradisi Islam dan kejawen.
Kata “Suro” sendiri berasal dari bulan Muharram dalam kalender Islam, yang diadaptasi ke dalam budaya Jawa.
Pada masa penyebaran Islam, bubur ini dibuat sebagai simbol slametan atau doa bersama — tanda dimulainya tahun baru, penolak bala, dan pengingat untuk hidup selaras dengan alam dan Sang Pencipta.
Ciri Khas dan Bahan Utama
Bubur Suro memiliki warna kuning keemasan karena menggunakan kunyit dan santan.
Biasanya disajikan dengan lauk sederhana namun simbolis, seperti:
-
Telur rebus (melambangkan kesempurnaan hidup)
-
Tahu-tempe bacem (kesederhanaan dan keseimbangan)
-
Urap sayur (kesuburan dan harapan baru)
-
Kerupuk dan abon kelapa (pelengkap rasa dan kebersamaan)
Bubur dimasak dengan beras, santan, daun salam, lengkuas, garam, dan sedikit serai — menghasilkan aroma lembut yang menenangkan.
Makna Filosofis
Setiap bahan punya makna.
-
Warna kuning: simbol kemuliaan dan harapan.
-
Santan: lambang kesucian dan kesejukan hati.
-
Lauk sederhana: pengingat untuk rendah hati dan bersyukur.
Tradisi ini mengajarkan bahwa hidup bukan soal berlimpah, tapi tentang memelihara keseimbangan dan ketulusan.
Ritual dan Momen Kebersamaan
Biasanya, Bubur Suro dimasak bersama di rumah atau langgar (surau kecil).
Setelah matang, dibagikan ke tetangga — bukan untuk dijual, tapi sebagai sedekah dan doa bersama.
Anak-anak membawa wadah kecil, tertawa sambil menunggu giliran, sementara orang tua saling berbagi cerita di teras.
Momen sederhana yang terasa sakral.
Bubur Suro di Masa Kini
Kini, tradisi Bubur Suro mulai jarang dijumpai di kota besar, tapi di banyak desa Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Madura, ritual ini masih dijaga.
Beberapa komunitas budaya bahkan menghidupkannya kembali sebagai simbol gotong royong dan identitas lokal.
Bubur Suro bukan sekadar hidangan, tapi doa yang bisa dimakan — simbol dari rasa syukur, kesederhanaan, dan harapan baru di setiap suapan.
Di tengah hiruk pikuk dunia modern, mungkin kita sesekali perlu duduk diam, menyeruput aroma santan, dan mengingat makna sederhana di balik semangkuk bubur hangat.