Ikan Pindang Palembang – Asam Gurih dari Sungai Musi

Ikan Pindang Palembang – Asam Gurih dari Sungai Musi

  • Penulis Campurkita
  • 11 Desember 2025
  • 8 menit

CampurKita - Ada satu aroma yang langsung mengingatkan pada Palembang, selain pempek:

aroma kuah ikan yang hangat, sedikit asam, sedikit gurih, dengan wangi rempah yang pelan-pelan naik dari dapur.
Itulah ikan pindang—sajian rumahan yang melekat erat dengan aliran Sungai Musi.

Bayangkan pagi di Palembang.
Kabut tipis masih menggantung di atas sungai, perahu-perahu kecil melintas pelan, dan dari dapur rumah panggung, asap tipis keluar dari celah papan. Di dalam, ada panci besar di atas kompor, berisi kuah kuning yang sesekali bergoyang ketika sendok kayu mengaduk pelan.

Di dalam kuah itu, potongan ikan segar menunggu matang, ditemani irisan nanas, tomat, cabai, dan daun kemangi.
Tidak ada musik selain suara air, suara burung, dan suara mendidih pelan dari panci.

Kuah Asam Gurih yang Menggoda

Ikan pindang Palembang terkenal dengan perpaduan rasa:

  • asam dari nanas, tomat, atau asam jawa,

  • gurih dari ikan segar,

  • harum dari rempah seperti serai, lengkuas, bawang, dan daun kemangi.

Saat kuahnya disendok dan dituangkan ke atas nasi putih hangat, ada sensasi yang langsung terasa:
ringan, segar, tapi tetap “nendang” di ujung lidah. Bukan jenis kuah berat dan bersantan, melainkan kuah yang membuatmu ingin menambah suapan lagi dan lagi.

Ikan yang digunakan pun beragam, tapi yang sering dijumpai:

  • ikan patin,

  • ikan baung,

  • atau ikan tenggiri.

Teksturnya lembut, menyatu dengan kuah yang meresap hingga ke dalam daging. Setiap gigitan seperti membawa sedikit cerita dari sungai—tentang arus, tentang perahu, tentang pagi-pagi yang sibuk di pasar ikan.

Pindang, Sungai, dan Kehidupan di Palembang

Di Palembang, Sungai Musi bukan sekadar pemandangan, tapi nadi kehidupan.
Dari sungai itulah ikan-ikan datang, yang kemudian masuk ke dapur, ke panci, lalu ke meja makan keluarga.

Ikan pindang jadi bukti eratnya hubungan orang Palembang dengan air:

  • Nelayan berangkat pagi-pagi buta,

  • pedagang ikan ramai di pasar,

  • ibu-ibu memilih ikan terbaik untuk dimasak hari itu.

Dan di tengah semua aktivitas itu, ikan pindang seperti titik temu:
hidangan yang bisa dinikmati bersama di tengah kesibukan.

Di banyak rumah, pindang bukan hidangan mewah. Tapi justru di situlah kehangatannya:
disajikan di mangkuk sederhana, dimakan dengan nasi hangat, sambal terasi, dan mungkin sedikit lalapan di sisi piring.

Tidak Sekadar Asam Gurih: Ada Rasa Rindu di Situ

Setiap daerah punya cara sendiri dalam membuat pindang. Tapi pindang Palembang punya keunikan:

  • penggunaan nanas yang memberi asam manis lembut,

  • rempah yang cukup kuat, tapi tetap terasa bersih di mulut,

  • dan kuah yang tampak sederhana, tapi rasanya dalam.

Bagi perantau yang jauh dari Palembang, sepiring pindang bisa jadi obat rindu:

  • rindu suara motor air di sungai,

  • rindu rumah panggung kayu,

  • rindu makan siang ramai bersama keluarga.

Mungkin itulah kenapa, ketika mereka menemukan warung yang menjual pindang yang rasanya pas, mereka rela jauh-jauh datang lagi.

Pindang di Meja, Cerita di Sekelilingnya

Menikmati ikan pindang tidak pernah hanya soal kuah dan ikan. Di sekelilingnya, selalu ada:

  • obrolan ringan tentang hari itu,

  • cerita tentang pasar, pekerjaan, atau kabar keluarga,

  • tawa kecil yang muncul ketika mengingat sesuatu yang lucu.

Di meja makan sederhana, pindang jadi pusatnya.
Sendok berpindah, nasi berkurang, tapi obrolan terus bertambah.

Penutup: Sepiring Pindang, Sejengkal Sungai di Rumah

Lain kali ketika kamu menjumpai menu pindang ikan Palembang, cobalah berhenti sejenak sebelum menyantapnya.
Lihat kuahnya, hirup aromanya, dan bayangkan:

  • aliran Sungai Musi yang tenang,

  • pasar ikan yang ramai,

  • dapur rumah panggung yang hangat.

Lalu, pikirkan ini:
lebih suka pindang yang asamnya kuat dan segar, atau yang lebih lembut dengan rasa gurih yang dominan?
Dan kalau kamu pernah makan pindang Palembang, apa yang paling kamu ingat: kuahnya, ikannya, atau suasana di sekeliling meja makan?