Payung, Hujan, dan Semangkuk Soto di Pinggir Jalan
CampurKita - Hujan turun deras sore itu.
Lampu jalan mulai menyala, dan aku berteduh di bawah payung kecil di depan warung soto pinggir jalan.
Aroma kaldu sapi bercampur uap panas kuah yang naik dari mangkuk.
Sederhana, tapi ada kehangatan di sana — seperti pelukan diam dari masa lalu.
“Beberapa kenangan paling indah sering datang bersama hujan dan semangkuk soto.”
🌾 Cerita di Bawah Payung
Warungnya kecil, cuma ada lima bangku panjang dan panci besar di atas tungku.
Penjualnya bapak tua dengan senyum ramah, tangannya cekatan menyendok kuah panas.
Pelanggan duduk berdesakan, sebagian masih memegang payung yang meneteskan air ke lantai semen.
Dan di tengah suara hujan, hanya terdengar sendok beradu dengan mangkuk. Tenang.
🍜 Rasa Soto yang Tak Tergantikan
Kuahnya bening tapi dalam, potongan dagingnya lembut, sambalnya pedas segar.
Di atasnya, bawang goreng, daun seledri, dan jeruk nipis menambah aroma yang memikat.
Mungkin di tempat lain ada soto yang lebih mahal,
tapi tak ada yang bisa menandingi rasa “rumah” dari warung sederhana ini.
🌾 Filosofi Hujan dan Soto
Hujan mengajarkan kita untuk berhenti sebentar,
dan soto mengajarkan kita untuk menikmati hal kecil yang hangat di tengah dingin.
Keduanya berpadu sempurna — seperti hidup yang terasa lebih ringan setelah satu suapan kuah panas.
🎉 Penutup
Sore itu, di bawah payung kecil dan suara hujan yang menenangkan,
aku belajar satu hal:
bahwa kebahagiaan bisa sesederhana semangkuk soto,
selama ada waktu untuk menikmatinya.
💬 Pertanyaan Campur:
Kalau kamu kehujanan sore ini, kamu pilih mampir ke warung soto hangat atau wedangan jahe? Ceritain suasana yang kamu bayangkan di kolom komentar!