CampurKita - Di Solo, pagi dimulai bukan dengan kopi — tapi dengan aroma santan, daun salam, dan nasi liwet yang baru matang.

Di sepanjang jalan Slamet Riyadi hingga Pasar Gede, warung-warung kecil sudah buka sejak subuh.
Dan di antara semua itu, ada satu suara yang tak pernah hilang: “Liwet, Bu! Satu porsi, pedesnya sedang aja ya!”

“Nasi liwet bukan sekadar sarapan — tapi cara orang Solo menyapa hari dengan kelembutan.”

🌾 Suasana Warung Subuh

Warung nasi liwet Solo biasanya sederhana: meja kayu, tikar anyaman, dan aroma nasi santan yang memenuhi udara.
Para pelanggan datang masih dengan mata sembab, mengenakan jaket tipis.
Ada yang makan di tempat, ada juga yang bungkus untuk keluarga di rumah.
Dan entah kenapa, semuanya tampak bahagia hanya dengan sepiring nasi dan sambal goreng labu siam.

🍛 Ciri Khas Nasi Liwet Solo

• Nasi gurih yang dimasak dengan santan, daun salam, dan serai.

• Sayur labu siam yang lembut dan sedikit manis.

• Ayam suwir dengan bumbu areh (santan kental) di atasnya.

• Telur pindang dan sambal terasi pelengkap wajib.

Kuahnya kental dan gurih, tapi tidak bikin enek.
Semua disajikan di atas daun pisang, yang menambah aroma khas saat uap panas naik dari piring.

🌾 Warung yang Selalu Ramai

Salah satu warung paling terkenal di Solo adalah Nasi Liwet Bu Wongso Lemu —
sudah buka sejak tahun 1950-an dan masih dijalankan turun-temurun.
Yang membuatnya legendaris bukan cuma rasa, tapi suasananya:
di tengah kota yang terus modern, warung ini tetap bertahan dengan lampu bohlam kuning dan senyum sabar sang penjual.

🎉 Penutup

Sepiring nasi liwet Solo bukan cuma soal rasa, tapi juga soal waktu —
tentang bagaimana pagi bisa dimulai dengan santan hangat, aroma daun pisang, dan senyum yang tulus.

💬 Pertanyaan Campur:
Kalau kamu mampir ke Solo, kamu pilih nasi liwet santan gurih versi klasik, atau versi pedas modern yang banyak topping? Ceritain pilihanmu di kolom komentar!